Sunday 27 September 2015

Sedikit curhat

27.09.2015

Menunggu itu rasanya tidak mengenakkan, penuh pertanyaan, rasa gelisah, sampai tidak bisa tidur.
Sempat buka2 forum mengenai bayi tabung. Diceritakan ada seorang istri yang sudah memiliki seorang putra melalui hasil IVF pertama dan langsung berhasil. Ia ingin memiliki anak lagi, tapi dengan segala kendala yang dihadapi, harus melalui program IVF lagi, ia merasa penuh pertanyaan dalam hidupnya. Ia merasa bahwa ia sudah merawat dan mendidik anaknya dengan baik, melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh layaknya seorang ibu. Tapi kenapa untuk memiliki anak lagi ia harus melalui LAGI proses IVF ini.
Sejujurnya... aku juga merasakan hal yang sama. Aku pernah mengeluh dan menangis di hadapan suamiku... aku bertanya apa yang salah dengan diriku? Mengapa Tuhan memberikan semua ini padaku? Aku sudah merawat dan mendidik anakku dengan baik, dari berusaha sekuat tenaga memberikan ASI, saat masanya MPASI aku berusaha semaksimal mungkin tidak pernah memberikan makanan instan pada anakku, semua kubuat sendiri dengan tanganku, dari membuat tepung beras sampai saat usianya 11 bulan ia bisa makan nasi dengan lauk walaupun masih tanpa gulgar. Tidak pernah seharipun ia terpisah dariku, kecuali saat aku harus menginap di rs. Setiap perkembangan anakku selalu kupantau.
Semua pekerjaan rumah kulakukan sendiri.
Apa yang salah dengan diriku? Sering aku bertanya pada Tuhan, apakah aku telah berbuat salah sebegitu besarnya hingga Tuhan masih memberikan cobaan ini bertubi-tubi? Mengapa Tuhan tidak memberikan kemudahan untukku untuk memiliki anak berikutnya?
Itu sekian banyak pertanyaan yang menggelayuti hatiku.
Bagaimana dengan orang lain, yang mudah sekali memiliki anak tapi dengan tidak bertanggung jawab melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu bahkan membuang anak mereka. Mengapa mereka masih dengan mudahnya diberikan anak terus-menerus? Mereka yang dengan mudah memiliki anak, membawa anak mereka untuk mengemis di jalanan, tapi masih dengan entengnya memiliki anak lagi hingga beberapa orang. Mereka tidak bisa memberikan kehidupan yang layak pada anak2 mereka, tapi Tuhan masih memberikan kemudahan itu pada mereka.
Aku ingin sekali marah kalau melihat keadaan yang seperti itu.
Tapi aku bisa apa? Aku hanyalah seorang manusia yang tidak bisa melakukan apa2 selain melaksanakan tugasku yang memang seharusnya dengan sebaik mungkin. Mengapa aku mencoba membandingkan diri dengan mereka?
Saat aku merasa sedih dan teringat kembali semua kesulitan yang kuhadapi, aku merasa amat sangat terpuruk, tapi sama sekali tidak ada yang bisa kulakukan... selain hanya berdoa dan berusaha.
Aku merasa sangat beruntung sekali memiliki suami yang selalu mendukung bagaimanapun keadaanku.
Ia pernah berkata, sekalipun kami tidak dikaruniai anak, ia akan tetap menua bersamaku, ia menikahiku tujuannya bukan untuk memiliki anak, anak itu adalah bonus, ia ingin hidup bersamaku. Kata2nya berhasil membuatku menangis dalam diam dan membuat lega hatiku.

Apapun cobaan yang kita hadapi, yakinlah kita akan bisa mengatasinya. Aku jadi ingat cerita saat aku berjalan di pantai, aku hanya melihat sepasang jejak kaki saat aku menengok ke belakang. Mengapa Tuhan tidak mau berjalan bersamaku?
Tapi jawab Tuhan adalah di situ hanya ada sepasang jejak kaki, karena Ia menggendongku 👦